BerQurbanlah dengan Cinta
Terkadang dalam mengarungi hidup, kita perlu kisah atau peristiwa untuk merefleksikan diri,agar kita senantiasa tetap berada dalam alur kehidupan yang benar terutama ketika berada pada titik jenuh pusaran kehidupan yang menipu mata’ul ghurur, demikian Al quran mendefinisikan kehidupan dunia ini
Dan pada saat memasuki Dzulhijjah seperti ini kita diingatkan dengan Idhul Adha, Haji, atau Qurban, semuanya berasal dari bahasa Qur’an. Adh-ha yang berarti Qurban,karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih ternak sebagai tanda bakti dan taat kepada ALLAH SWT. Sedangkan Qurban bisa berarti pendekatan. Tentu saja pendekatan kepada Al-Khaliq, ALLAH Azza wa Jalla. Kita sering mengistilahkannya dengan taqarrub (berusaha dekat kepada-Nya). Karena itu, sejak 1 Dzulhijjah, kita dianjurkan memperbanyak amalan-amalan ibadah seperti puasa, shalat id, bersilaturahmi, dan berzikir mengagungkan Allah. Pada saat Idul Adha seperti ini, biasanya kita -"baru"- teringat kepada Bapak para Nabi, Khalilullah Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail -alaihimus salaam. Kita yang teringat pun banyak yang tidak sempat merenungkan keagungan pengorbanan kedua nabi itu, apalagi sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri.
Coba kita renungkan. Nabi Ibrahim yang memperoleh amanah seorang anak di usianya yang sudah senja , dan kemudian tiba-tiba turun perintah ALLAH SWT untuk menyembelih anak kesayangannya Nabi Ismail. Lalu apakah keduanya rela mengorbankan dan berkorban demi kekasih yang sehebat dan seagung itu? YA...keikhlasan berkorban sang putra, Ismail, dan sang Ayah, Ibrahim yang telah membuktikan cinta mereka kepada sang Khalik dengan pengorbanan yang agung, Allahu Akbar.
Keduanya telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan kosong yang hanya sebagai lips service (pemanis bibir). Mereka benar-benar memurnikan kepasrahan hanya kepada ALLAH. Mengakui dan menyadari bahwa pemilikan hakiki hanya pada ALLAH. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah milik ALLAH, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri.
“Inna shalaati wanusuki wamahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil ’aalamien; laa syarieka lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien”. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam; tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam.
Setiap saat kita terus dituntun kehidupan yang serba material untuk semakin menjadi orang yang serba memiliki. Jangankan apa yang kita anggap milik kita sendiri, "milik" dan hak orang pun, kalau bisa, ingin kita kuasai untuk kita sayangi. Bahkan, kehidupan yang serba material itu, tanpa sepenuhnya kita sadari, telah menyeret kita kepada mencintai diri sendiri yang berlebihan. Maka, dalam kondisi seperti itu, berkorban tentu merupakan sesuatu yang sangat berat, bahkan mungkin ganjil. Mitraniaga AHAD-NET yang dirahmati ALLAH SWT, apakah kita ingin menjadi pribadi yang hanya mau meminta namun tidak mau berkorban untuk ALLAH? Karena berqurban merupakan tahapan yang harus kita lalui untuk memasuki maqom muqorobbin tempat para khalilurahman “kekasih ALLAH” maka mari berqurban dengan cinta sebagaimana Ibrahim As mengajarkan pada kita,dan qurban bukan sekedar wujud dhohir hewan yang kita korbankan tetapi mahabbah dan taqwa harus mengiringi pada saat kita tunaikan qurban itu.
(JOS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau membaca, dengan segala kerendahan hati mohon diberikan komentar,semoga dapat bermanfaat